upah.co.id – Pamer harta menjadi tontonan yang lumrah dan masif di kalangan masyarakat Indonesia, selama beberapa tahun belakangan. Apalagi saat ini, media sosial menjadi salah satu pintu kesempatan bagi mereka yang berhasrat menonjolkan segala harta benda kekayaannya tersebut, kepada khalayak umum. Hal ini tentunya, dapat menciptakan ketimpangan sosial antara si fulan yang kaya dan si fulan yang miskin.

Sejumlah orang yang suka pamer harta seringkali menjadi bahan gosip di masyarakat, karena perilaku yang terkesan angkuh bin sombong dan tidak menghargai nilai-nilai sosial yang berlaku.

Biasanya, pamer harta dapat dilakukan dengan berbagai cara yang sedikit ke arah tendensius seperti memamerkan motor, mobil, pakaian, perhiasan, rumah, dan barang-barang yang masuk dalam kategori mewah melalui media sosial milik mereka, salah satunya lewat Instagram .

Fenomena pamer harta di Instagram tersebut pun, jadi lazim kita saksikan. Anehnya, sebagian dari kita malah terhipnotis menyaksikan setiap drama yang disuguhkan kalangan tersebut, istilah ini biasanya disebut ‘The Rich Kids of Instagram ‘.

Istilah The Rich Kids of Instagram kerap digunakan untuk merujuk pada sebuah kelompok orang kaya atau anak-anak dari keluarga kaya yang memamerkan gaya hidup mewah mereka di Instagram .

Anak-anak kaya tersebut sering kali membagikan foto-foto mewah berupa liburan eksotis atau kendaraan yang mungkin tidak dapat diakses oleh masyarakat kebanyakan. Tentunya hal ini, kadang tidak mereka sadari secara nalar.

Istilah ini pertama kali diperkenalkan pada 2012 dan saat itu menjadi sub-budaya berkelanjutan di media sosial, yang menciptakan kontroversi khususnya dalam tata cara kehidupan orang Timur yang melarang sikap berlebihan terhadap konsumsi barang-barang mewah, apalagi untuk berniat pamer.

Dalam pengamatan tim Pikiran-Rakyat.com, ada banyak faktor psikologi yang dapat memengaruhi penyebab seseorang tersebut suka memamerkan harta melalui media sosial, seperti rasa keinginan yang besar untuk mendapatkan animo perhatian secara meluas, merengkuh persetujuan sosial secara terus menerus, atau bahkan menjadi pusat perhatian.

Biasanya, dalam kasus ini, energi moralitas seseorang menjadi mati untuk memahami makna dan nilai-nilai kehidupan. Nilai tersebut digantikan dengan rasa tinggi hati, bahkan cenderung tidak menghargai lingkungan sosial. Kehidupan mereka layaknya seperti kantong doraemon, apapun yang mereka inginkan, bimsalabim harus ada dan ‘segera’ diperlihatkan ke netizen.

Menurut psikolog anak dan remaja, Vera Itabiliana Hadiwidjoyo, S.Psi, perilaku pamer harta yang kerap dilakukan oleh sejumlah anak remaja di media sosial tersebut juga didasari oleh dorongan emosi guna meraih perhatian dari orang lain.

“Ada dorongan emosi untuk mendapatkan perhatian orang lain ya, dan dorongan unjuk kelebihan merupakan impuls yang manusiawi,” kata Vera Itabiliana saat dihubungi Pikiran-Rakyat.com pada Kamis, 23 Februari 2023.

Menurut psikolog lulusan Universitas Indonesia itu, pada fase remaja ini, biasanya mereka masih sulit menahan dorongan emosi itu.

Itabiliana, menilai mereka masih berada di dalam masa perilaku dan keputusan yang dipengaruhi emosi ketimbang rasio.

“Keputusan (untuk pamer harta itu) dipengaruhi emosi ketimbang mengunakan rasio,” tuturnya.

Meski demikian, ia menyatakan perilaku tersebut berkaitan dengan perkembangan otak mereka yang dimana bagian prefrontal cortex belum berfungsi optimal.

“Hal ini juga berkaitan juga dengan perkembangan otak mereka (para remaja), yang dimana bagian prefrontal cortexny belum berkerja optimal, untuk membantu fungsi berpikir eksekutif,” katanya.

Berpikir eksekutif tersebut, lanjut Itabiliana, seperti mempertimbangkan konsekuensi dari suatu tindakan dan menyeimbangkan antara emosi dan rasionalitas.

“Oleh karena itu, kadang sebagian remaja sering terlihat sangat reaktif dan melakukan sesuatu tanpa pikir panjang (salah satunya kerap memamerkan harta),” katanya.

Absurdnya, kecendrungan untuk pamer harta tersebut, seperti menjadi semacam ‘budaya’ tak resmi di masyarakat Indonesia. Baik oleh mereka yang ‘pura-pura kaya’ atau mereka yang memang ‘benaran sultan’ untuk bereksis ria secara up to date. Sehingga kontrol untuk itu menjadi ‘buas’ bahkan sampai pada tindakan di luar nalar.

Meski demikian, tak ada gading yang tak retak, wahai tuan dan puan sekalian, ada dampak negatif pastinya dari perilaku tak elok tersebut, yakni menimbulkan perasaan iri dan cemburu di antara orang lain dan bisa jadi memicu tindakan kriminalitas.

Oleh karena itu, penting kiranya bagi mereka yang suka pamer, untuk mempertimbangkan lebih dalam konsekuensi sosialnya dari perilaku tersebut.

Hakikatnya, menunjukan status kekayaan melalui harta yang mereka miliki tidak selalu membanggakan dan bahkan mengganggu nilai-nilai sosial yang diajarkan para leluhur timur yakni seperti etos kerja keras, solidaritas, dan kesederhanaan.***