upah.co.id – pelayaran terus bergerak maju. Kali ini kemajuannya dapat dibilang signifikan sehingga program ini rasanya telah tuntas diwujudkan oleh insan pelayaran. Betulkah demikian?

Ihwal tuntasnya digitalisasi pelayaran mencuat melalui pemberitaan yang dilansir oleh media dalam jaringan Splash 274 di lamannya belum lama berselang.

Menurut media yang bermarkas di Singapura itu, ada sembilan pelayaran global yang bergabung dalam Digital Container Shipping Association atau DCSA.

Mereka bersepakat untuk menerapkan bill of lading elektronik secara penuh pada 2030. Sekitar tujuh tahun lagi dari sekarang. Bukan waktu yang terlalu lama dalam dunia digital/elektronik.

B/L elektronik yang akan diterapkan itu dikembangkan melalui teknologi yang dapat menyatukan berbagai platform (interoperability) yang telah dijalankan oleh pelayaran selama ini.

Teknologi ini, kata DCSA, tidak menggunakan aplikasi maupun standar milik vendor tertentu. Melainkan, sebuah pengembangan yang lebih efisien bagi pengguna dan ramah lingkungan.

Tidak ada penjelasan seperti apa konkretnya teknologi yang sedang dikembangkan. Kita tunggu sajalah.

Melibatkan juga organisasi industri lainnya seperti BIMCO, FIATA, ICC dan SWIFT, B/L eletronik itu diharapkan bisa menjadi rujukan bagi industri pelayaran peti kemas .

Sedikit terkait DCSA. Asosiasi ini merupakan lembaga nirlaba yang didirikan oleh beberapa pelayaran kontainer kelas dunia pada 2019.

Kendati demikian, organisasi ini independen dari kepentingan perusahaan pelayaran yang membidani pendiriannya. Organisasi yang mendukung penerapan B/L elektronik di muka, bersama DCSA tentunya, membentuk FIT Alliance.

Future International Trade, begitu kepanjangan FIT, akan bekerja membangun kesadaran publik pelayaran mondial terhadap pentingnya interoperability berbagai platform yang ada dan aturan perdagangan internasional.

Khusus tujuan terakhir ini, sasarannya adalah regulator, kalangan perbankan serta asuransi. Harapannya, mereka akan menerima dan mengadopsi B/L elektronik atau eBL bila persiapan yang sedang dijalankan oleh DCSA siap diimplementasikan nantinya.

Mereka perlu memiliki bahasa/pesan dan makna yang sama terkait program ini karena dalam perdagangan internasional merekalah yang bersua langsung dengan carrier, shipper dan berbagai pihak lainnya.

Menurut DCSA, perpindahan B/L dari kertas ke elektronik akan mampu menghemat biaya-biaya yang dikeluarkan oleh para pihak hingga 6,5 juta dollar AS.

Sebagai konsekuensinya, pertumbuhan perdagangan dunia diperkirakan tumbuh antara 30-40 miliar dollar AS.

Sekadar catatan, dunia pelayaran (internasional) menerbitkan sekira 45 juta B/L setiap tahunnya. Pada 2021, hanya 1,2 persen saja yang diterbitkan dalam format elektronik.

Secara umum bill of lading adalah dokumen yang berfungsi sebagai tanda terima atau receipt atas barang yang dikapalkan dan memuat syarat dan ketentuan bagi pihak pengangkut dan pemilik barang.

Bagi Indonesia, kabar bahwa akan terjadi migrasi dari B/L kertas ke format elektronik jelas suatu hal yang cukup menggembirakan tentunya. Momentumnya bertepatan dengan program digitalisasi dalam bidang logistik yang saat ini tengah digencarkan.

Dalam catatan penulis di laman ini sebelumnya, program Ekosistem Logistik Nasional (ELN) masih menyisakan loophole, yaitu tidak atau belum dapat diintegrasikannya program tersebut ke dalam ekosistem pelayaran. Dan, salah satunya adalah eBL.

Hal itu terjadi karena antara sistem TI pelayaran asing yang sudah menjalankan eBL dengan platform yang ada di Indonesia, terutama dengan sistem yang dikelola oleh pemerintah, semisal, Indonesia National Single Window, tidak bisa berkomunikasi.

Kalaupun sudah terhubung belum sepenuhnya mulus. Akhirnya tak terhindarkan B/L tetap dalam format aslinya berupa dokumen kertas. Inilah alasan mengapa bisnis pelayaran domestik masih belum sepenuhnya paperless.

Konosemen konvensional tadi mengakibatkan proses yang terkait dengannya, misalnya pembayaran-pembayaran biaya/tagihan, juga tidak sepenuhnya bisa digital.

Ditambah tidak semua kantor di pelabuhan, bank khususnya, yang beroperasi 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Lengkaplah sudah kelambatan upaya go digital yang sudah digeber selama ini.

Upaya digitalisasi eBL sudah dimulai, sampai derajat tertentu, melalui Tradelens. Ini merupakan anjungan digital yang diinisiasi oleh IBM dan pelayaran Maersk di kota San Francisco, AS, pada Januari 2018.

Sebagai inisiator, operator asal Denmark itu meniatkan kerja mereka untuk kemaslahatan bisnis pelayaran dunia.

Ide perlunya platform itu selanjutnya dikembangkan lebih konkret oleh IBM dengan menggandeng GTD Solution Inc, perusahaan yang fokus dalam bidang digitalisasi sektor transportasi/logistik, anak usaha Maersk.

Niatan Maersk menjadikan Tradelens sebagai platform bersama bagi insan pelayaran disambut baik oleh raksasa pelayaran lainnya seperti CMA CGM (Perancis) dan Mediteranian Shipping Company/MSC (Swiss).

Saat ini sudah ratusan entitas bisnis terminal, perusahaan truk, pergudangan, dan lain sebagainya bergabung ke dalam anjungan itu. Mereka berasal dari berbagai belahan dunia.

Sekarang, gawean eBL didukung pula CMA CGM, Hapag-Lloyd, ONE, Evergreen, Yang Ming, HMM dan ZIM.

Para pemerhati bisnis pelayaran menyebutkan bahwa ada banyak dokumen lain selain B/L dalam pengiriman barang yang juga perlu didigitalisasi.

Itu artinya, tidak ada gunanya eBL jika para pihak dalam perdagangan internasional masih tetap perlu mengirimkan sertifikat asal (certificate of origin), tagihan dan lain sebagainya dalam bentuk fisik.

Rupanya, digitalisasi pelayaran masih perlu menempuh jalan Panjang. Semoga lancar.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.