upah.co.id – Di banyak negara, pembangunan kereta cepat seringkali menimbulkan polemik. Biaya investasi yang mahal dan lamanya waktu pengembalian modal adalah dua alasan utamanya.

Itu sebabnya, masih banyak negara, termasuk beberapa negara maju, belum memutuskan kereta cepat sebagai prioritas. Tanpa hitungan matang, proyek kereta cepat justru akan memberikan kerugian karena biaya operasional tak bisa ditutup dengan penjualan tiket.

China pun sejatinya sudah mulai mengerem pembangunan kereta cepatnya. Mereka mulai melirik untuk mengekspor kereta cepat ke luar negeri, Indonesia dan Laos menjadi pembeli pertamanya.

Dari data yang dirilis Statista, dari 15 rute kereta cepat yang ada di China, hanya 5 yang menguntungkan. 10 sisanya terus menerus dalam kondisi merugi.

Sementara di Asia Tenggara, Malaysia memutuskan menghentikan proyek kereta cepat yang menghubungkan Kuala Lumpur dengan Jurong Singapura di tengah jalan.

Negeri Jiran itu tegas memilih menghentikan proyek kereta peluru meskipun terlanjur mengeluarkan biaya investasi yang tak sedikit, termasuk harus membayar kompensasi kerugian ke Singapura.

Dikutip dari Japan Forward, masifnya pembangunan kereta cepat di China bisa menjadi bom waktu mengingat keterisian penumpang yang rendah, mengakibatkan pendapatan tiket tak bisa menutup biaya operasional.

Dalam sebuah laporan, China Railways, BUMN milik pemerintah China yang mengoperasikan kereta cepat, harus menanggung lonjakan utang sekitar 842 miliar dollar AS.

Jumlah utang China Railways ini setara tiga kali lipatnya jumlah utang yang membuat raksasa real estate China Evergrande Group mengalami krisis likuiditas.

Para ahli memperingatkan bahwa utang China Railway yang sangat besar dapat menimbulkan risiko keuangan yang parah di masa mendatang.

Namun meski utang yang ditanggung sangat besar, terlepas dari beban keuangan China Railways, negara itu cukup terbantu karena kereta cepat ini nyaris seluruhnya dibuat oleh perusahaan-perusahaan dalam negeri sehingga berkontribusi menggerakan ekonomi negaranya.

Sebelum Olimpiade Musim Dingin Beijing pada Februari 2022, jalur kereta api berkecepatan tinggi dibangun secara besar-besaran untuk menghubungkan tiga tempat tuan rumah meliputi pusat Kota Beijing, Distrik Yanqing di pinggiran kota, dan Distrik Chongli di kota Zhangjiakou, Provinsi Hebei.

Kereta menggunakan sistem tanpa masinis dan memiliki kecepatan maksimum 350 km/jam, yang memungkinkan mereka menempuh jarak sekitar 180 km hanya dalam 50 menit.

Total biaya proyek ini mencapai 8,3 miliar dollar AS. Sebagai perbandingan saja, biaya investasi Kereta Cepat Jakarta Bandung dengan lintasan 143 kilometer mencapai 7,97 miliar dollar AS.

Pada pertengahan Juli 2022, Kyodo News melaporkan bahwa jalur kereta ini hanya beroperasi satu kali perjalanan pulang pergi per hari karena sepinya permintaan.

Namun demikian, angka tersebut tetap lebih rendah dari jumlah perjalanan harian yang dioperasikan oleh banyak jalur kereta api Jepang, bahkan yang terletak di pedesaan.

Merugi

Dikutip dari Global Times, hingga semester I tahun 2022, China Railways melaporkan peningkatan pendapatan menjadi sebesar 512,769 miliar yuan (79 miliar dollar AS), meningkat sebesar 108,8 miliar yuan dibandingkan dengan paruh pertama tahun lalu.

Namun perusahaan masih membukukan kerugian sebesar 50,737 miliar yuan pada semester pertama, meski kerugian tersebut menurun dari periode yang sama tahun lalu, ketika kerugian bersih mencapai 95,5 miliar yuan.

Data yang dirilis China Railways tersebut menunjukkan ada 1,365 miliar perjalanan penumpang pada semester pertama tahun ini, meningkat 67 persen year-on-year.

Namun, angka tersebut masih jauh di bawah catatan penumpang yang mencapai lebih dari 1,7 miliar pada semester pertama 2019.

Dari Januari hingga Juni, investasi perkeretaapian di seluruh China mencapai 298,9 miliar yuan, termasuk 1.138 kilometer jalur baru dioperasikan, yang di dalamnya ada 505 kilometer rel kereta cepat.

Kereta api Lhasa-Nyingchi di Daerah Otonomi Tibet mulai beroperasi pada 25 Juni, dengan kereta peluru Fuxing tercanggih China beroperasi di dataran tinggi Qinghai-Tibet untuk pertama kalinya.