upah.co.id – Pakar Hukum dari Universitas PadjajaranBandungSinta Dewi mengusulkan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dilakukan secara komprehensif dan hati-hati karena masih banyak hal di dalam UU tersebut yang belum jelas dan perlu penyesuaian.

“Revisi itu sebaiknya secara komprehensif, secara hati-hati dilakukan kajian lagi karena banyak juga hal-hal yang memang masih belum jelas di dalam Undang-Undang ITE dan memerlukan satu penyesuaian, disesuaikan dengan kasus-kasus yang muncul di dalam praktik di Indonesia,” ujar Sinta.

Hal itu disampaikan Sinta dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi I DPR RI dengan pakar atau akademisi dalam rangka mendapatkan masukan dan pandangan terkait Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Rabu.

Sinta menilai, proses pembentukan dan amandemen UU di Indonesia memerlukan proses dan waktu yang panjang, sehingga sangat disayangkan apabila dalam proses tersebut hanya beberapa pasal saja yang direvisi. Menurut dia, banyak masalah yang harus dibenahi dalam UU tersebut.

Dalam paparannya, Sinta berfokus pada beberapa hal, salah satunya pada Pasal 26 Ayat 3 UU ITE.

Dalam pasal itu disebutkan bahwa setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.

Menurut dia, pasal tersebut perlu diubah dan diperjelas batasannya, karena pada UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, belum diatur secara jelas tentang penghapusan data pribadi.

Dia mengatakan, penghapusan data pribadi tidak sekadar bahwa data tersebut tidak relevan, tetapi ada syarat-syarat lainnya. Hal itu, kata dia, merujuk aturan di negara Uni Eropa.

Dia mengatakan penghapusan data pribadi bisa dilakukan apabila tujuan pemrosesan data telah selesai, subjek data menarik kembali persetujuannya, data pribadi tidak diproses sesuai tujuan, dan data pribadi diproses secara melawan hukum.

“Jadi ini syarat-syarat yang memang ditetapkan di negara di mana kasus ini muncul. Jadi kalau di Indonesia cukup pendek hanya data itu tidak relevan dan harus melalui keputusan pengadilan. Nah, ini juga banyak menimbulkan pertanyaan di dalam praktiknya,” kata Sinta.

Hal lainnya terkait penyadapan. Sinta menilai hingga saat ini belum ada satu pun aturan yang bisa menjadi satu mekanisme yang akan menciptakan suatu kepastian hukum dalam proses penyadapan.

Dia menyebut bahwa sejumlah negara telah melakukan revisi terhadap UU ITE mereka untuk memasukkan pasal-pasal tentang penyadapan.

Hal berikutnya tentang moderasi konten. Menurut dia, aturan mengenai moderasi konten seharusnya berada di level undang-undang. Saat ini moderasi konten diatur melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 5 Tahun 2020.

“Itu juga sebetulnya sudah diatur di dalam Permenkominfo tetapi sebaiknya juga ini masuk ke dalam ranah undang-undang karena berkaitan dengan ketentuan-ketentuan hak asasi manusia,” kata Sinta.

Terakhir, dia menyoroti tentang Pasal 25 UU ITE mengenai pelanggaran hak cipta. Dia mengatakan dalam pasal tersebut belum diatur mengenai ketentuan pidana terhadap pelanggaran tersebut.

“Jadi menurut saya mumpung ini ada kesempatan untuk merevisi, sebaiknya juga dipikirkan atau direvisi juga pasal-pasal lainnya yang di dalam praktik juga menimbulkan ketidakpastian, pertanyaan dari masyarakat bagaimana proses ini harus dilakukan,” tambah dia.

Dalam kesempatan itu, Sinta turut mengusulkan agar revisi UU ITE juga memperhatikan kasus-kasus kejahatan siber lain yang aturannya belum ada di dalam UU ITE saat ini, seperti perundungan dunia maya (cyber bullying), penguntitan dunia maya (cyber stalking), dan pengungkapan data pribadi yang bukan milik sendiri (doxing).