upah.co.id – Pasien penderita kanker kepala dan leher bisa mengalami gangguan psikiatri. Hal ini dikarenakan kanker kepala dan leher terjadi di area yang terlihat seperti tonjolan. Belum lagi terapi yang dilakukan oleh para pasien biasanya juga mengubah bentuk fisik sehingga mereka merasa bukan dirinya lagi dan tidak percaya diri.

“Tentunya hal tersebut berdampak besar pada kondisi psikologis dari pasiennya termasuk juga keluarga yang mendampingi. Jadi memang besar sekali peranan dari aspek kesehatan mental ini,” ujar Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa konsultan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), dr. Feranindhya Agiananda SpKj(K) sebagaimana dilansir dari Antara pada Kamis, 23 Februari 2023.

Menurut Feranindhya, angka pasien penderita kanker kepala dan leher yang mengalami gangguan psikiatri bisa lebih tinggi dibandingkan dengan kanker lainnya, misalnya kanker paru-paru dan payudara.

“Ternyata kanker kepala leher angka kejadian depresinya itu bisa mencapai 50 persen pada populasi pasien dengan kanker kepala leher,” katanya.

Lebih jauh dikatakan Feranindhya, depresi yang dirasakan pasien kanker kepala dan leher sendiri bisa membuat pasien tidak semangat dalam menjalani perawatan, tidak jarang pula banyak yang putus asa, bahkan hingga kehilangan daya juang untuk melawan kanker .

Hal ini menurutnya berefek bisa memperburuk hasil dari tatalaksana yang sudah direncanakan.

Meski demikian Feranindhya menjelaskan, tidak semua pasien kanker harus menjalani terapi psikiatri. Pasalnya, secara prosedural sebelum melakukan terapi sejatinya dokter penanggung jawab akan mengobservasi terlebih dahulu permasalahan yang mungkin dihadapi oleh pasien kanker terlebih dahulu.

Jika memang dirasa ada hal-hal yang penting untuk dikelola, barulah dokter penanggung jawab akan menghubungi tim untuk melakukan tatalaksana secara bersama-sama.

Ia juga menjelaskan terapi psikiatri tidak selalu akan diberi obat. Hal yang mayoritas pasien khawatirkan dan hindari karena memiliki resiko efek samping seperti ketergantungan.

Dalam proses psikoterapi sendiri, katanya psikiater mengajak pasien berdiskusi bagaimana cara-cara berpikir secara lebih realistis dan tidak membuat pasien menjadi mudah cemas.

Akan tetapi, jika psikoterapi tidak cukup karena gejala kecemasan yang cukup hebat sampai mengganggu tidur dan aktivitas sehari-hari, psikiater bisa memberi obat yang sesuai gejalanya.

“Obat-obatan yang diberikan itu pasti ada tujuannya dan akan dipantau oleh teman-teman dari psikiatri. Selama dipantau oleh dokter tidak perlu khawatir akan terjadi kecanduan atau akan terjadi ketergantungan karena semuanya sudah dipantau,” katanya.

Seyogyanya yang awam dilakukan, imbuh Feranindhya adalah psikoterapi yaitu terapi berbincang-bincang untuk melihat masalah yang sedang dihadapi oleh pasien maupun keluarganya, seperti kecemasan karena tidak tahu apa yang akan dihadapi dan masih dalam tahap rasional atau tidak.

“Itu kita akan cari tahu apa yang membuat dia cemas, seringkali orang cuma karena tidak tahu apa yang akan dihadapi karena khawatir akan masa depannya, sering kali kita ruwet sama pikiran kita mikirnya udah jauh duluan padahal belum tentu apa yang seperti kita bayangkan,” ujarnya. ***