upah.co.id – Lahirnya kebijakan Pemerintah untuk mengembangkan Petani Milenial dalam beberapa tahun belakangan ini, tentu saja menuntut paradigma penyuluhan pertanian baru seiring era milenial dan generasi Z sekarang.Indonesia membutuhkan kebijakan penyuluhan pertanian yang adaptif bagi kaum milenial.

Penyuluhan pertanian tidak bisa lagi menitikberatkan kepada pola pendekatan dan metode masa lalu yang memiliki nilai kehidupan petani berbeda dengan era milenial.

Ini penting dicatat, karena era milenial menuntut penguasaan yang mendalam terhadap perkembangan teknologi informasi dan digitalisasi.

Namun begitu, penting dipahami, sekalipun era telah berubah, yang namanya falsafah penyuluhan pertanian, sepertinya masih tetap relevan untuk diterapkan dalam memberikan nilai-nilai dasar program penyuluhan pertanian. Harmonisasi penyuluhan pertanian dan petani perlu terus dikembangkan.

Para penyuluh pertanian tetap harus meyakini, program dan kegiatan penyuluhan pertanian adalah model pendidikan nonformal yang dilandasi oleh semangat pembelajaran, pemberdayaan, dan pemartabatan petani ke sebuah kehidupan yang lebih baik. Suatu kehidupan yang sejahtera dan bahagia.

Penyelenggaraan penyuluhan pertanian tetap didasari oleh prinsip demokrasi dan berkelanjutan.

Dalam proses pendidikan nonformal, penyuluhan pertanian ditempuh dengan penuh kesukarelaan dari petani beserta keluarganya dalam rangka mendapatkan inovasi dan perkembangan teknologi budi daya pertanian terkini.

Kegiatan penyuluhan pertanian yang dirumuskan dalam “Programa Penyuluhan Pertanian”, tentu harus berbasis kepada apa yang menjadi “felt need” petani dalam melakoni kehidupannya.

Penyuluhan Pertanian adalah sistem pendidikan nonformal yang diarahkan untuk orang dewasa. Proses pembelajaran yang ditempuh, pasti akan berbeda dengan sistem pendidikan formal maupun informal.

Pola dan pendekatan penyuluhan pertanian lebih mengedepankan perpaduan antara teori dan praktik, sehingga petani merasakan sendiri dan dapat menilai secara langsung apa-apa yang dipelajarinya.

Para penyuluh pertanian di lapangan harus cerdas dalam menangkap apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan dalam menjalankan budi daya dan usaha tani pertaniannya.

Kecerdasan ini akan muncul, sekiranya para penyuluh pertanian sering berkunjung ke petani. Namun sebaliknya, bila penyuluh pertanian tidak gemar turun menemui petani maka tujuan utama penyuluhan pertanian akan sulit tercapai.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah para penyuluh pertanian di lapangan memiliki waktu yang cukup untuk berbincang-bincang dengan para petani?

Berkurangnya jumlah penyuluh pertanian, karena banyak di antara mereka yang pensiun, tentu saja menjadi soal tersendiri bagi ketersediaan tenaga penyuluh pertanian.

Mereka yang menurut teori idealnya memenuhi formasi 1 Penyuluh Pertanian 1 Desa, masih belum terwujud. Fakta saat ini, 1 Penyuluh Pertanian rata-rata menyuluh di 3 Desa.

Memang, dalam Undang Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan terdapat 3 kategori penyuluh, yakni Penyuluh PNS, Penyuluh Swasta, dan Penyuluh Swadaya.

Penyuluh Swasta dan Penyuluh Swadaya belum sepenuhnya digarap secara intens dan maksimal. Regulasi untuk menopang ke dua kategori penyuluh tersebut belum tersedia.

Kalau pun ada belum terlampau representatif sehingga belum ada standar baku bagi mereka yang membuat mereka sangat jauh berbeda dengan tenaga Penyuluh PNS baik dari sisi kualitas maupun kompetensinya.

Kemajuan teknologi

Mengarungi era milenial yang dicirikan dengan perkembangan dan kemajuan teknologi informasi, kegiatan penyuluhan pertanian, tentu tidak boleh tertinggal dengan perubahan tersebut.

Penyuluhan pertanian ditempuh, bukan lagi hanya mengandalkan tatap muka secara nyata antara penyuluh pertanian dengan para petani, namun dengan adanya teknologi informasi, penyuluhan pertanian pun dapat digarap melalui pola “cyber extension”.

Yang jadi pertanyaan adalah apakah para petani sudah mampu menyiapkan diri dengan baik dalam melakoni era digitalisasi?

Para penyuluh pertanian, boleh saja menyatakan siap dengan fasilitas yang dibutuhkan, tapi para petaninya sendiri, terekam masih banyak yang belum siap.

Yang jelas, Pilot Proyek Cyber Extension yang dilaksanakan di banyak daerah dalam beberapa tahun belakangan ini, belum memberikan hasil yang optimal.

Penyuluhan pertanian sendiri akan berlangsung secara terus-menerus. Penyuluhan pertanian tidak dibatasi oleh kurun waktu. Baik misalnya di era kolonial atau pun milenial, kebijakan penyuluhan pertanian, tetap dibutuhkan oleh para petani. Itu sebabnya, betapa kelirunya, jika ada pihak-pihak yang memandang sebelah mata terhadap keberadaan penyuluhan pertanian.

Tugas mulia penyuluh pertanian adalah mengubah perilaku petani ke arah yang lebih baik, khususnya dalam melakukan pengelolaan usaha tani yang digarapnya.

Penyuluh pertanian perlu untuk mengenalkan inovasi dan perkembangan teknologi terkini yang dihasilkan oleh para peneliti, pengkaji, dan pemulia tanaman dari Lembaga Riset dan Perguruan Tinggi.

Kemitraan kualitatif dan integratif antara Peneliti-Penyuluh-Petani, tetap harus terbangun. Jangan sampai mereka asyik dengan dunianya sendiri.

Tiga serangkai ini penting untuk dipelihara agar sinergi dan kolaborasi ketiganya dapat berjalan secara optimal. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pertanian, tentu harus diikuti dengan semakin membaiknya kualitas pendidikan para petaninya.

Penyuluh pertanian merupakan satu solusi untuk mempercepat terjadinya perubahan tersebut. Tinggal sekarang perlu merumuskan Tata Kelola Penyuluhan Pertanian yang seirama dengan maksud tersebut.

Ini saatnya Indonesia merancang secara berkualitas dengan tetap memfokuskan diri beradaptasi ke dalam era milenial yang bergerak dan berubah begitu cepat.

*) Entang Sastraatmadja; Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.