upah.co.id – ini memang kata-kata tetap memiliki tempat tersendiri dalam perhatian publik. Dengan menggunakan kata-kata, seorang politisi dapat mengomunikasikan ide-ide dan gagasan politiknya. Namun apapun yang berlebihan itu tidak baik.

Janji manis dalam percaturan politik adalah buah dari penggunaan kata-kata secara berlebihan. Publik hanya diberikan “kasih sayang” palsu untuk kepentingan semata seorang politisi.

Publik dikecoki dengan berbagai janji politik yang membuat tertarik untuk dipilih, padahal janji itu tidak sepenuhnya diwujudkan.

Misalkan tindakan Love Bombing yang merupakan perilaku verbal berlebihan untuk mendapat perhatian pasangan, padahal ada maksud tersembunyi dari pujian-pujian itu.

Begitu juga dengan janji politisi ketika mendekati pemilu terdengar sangat manis dan mengesankan, tetapi janji itu hanyalah alat untuk memberikan kesenangan sesaat kepada publik.

Ada adagium hukum, Facta Sunt Potentiora Verbis, artinya fakta lebih kuat dari pada kata-kata. Fakta merupakan visualisasi dari cara berpikir seseorang.

Fakta tidak bisa dipungkiri, meskipun dalam beberapa kasus fakta terkadang bisa didesain untuk kepentingan tertentu. Namun, sebenarnya esensi dari fakta adalah kemurnian dan kedalaman.

Begitu juga dalam konteks politik, sejatinya fakta politik merupakan keadaan real time dari fenomena politik. Apa lagi hari ini memungkinkan fenomena politik terekam dan tersimpan dengan baik. Pada saat tertentu bisa digunakan sebagai senjata untuk memangkas lawan politik.

Politik era modern sebenarnya ingin merumuskan ulang budaya politik. Jika dulu fenomena politik bisa dengan mudah dikendalikan oleh politisi, saat ini sulit dilakukan karena publik memiliki filternya sendiri dengan berbagai media. Walaupun argumentasi untuk meyakinkan sikap politiknya masih cenderung gagap.

Politik Nasional kita sebenarnya menampilkan dualisme cara berpikir. Cara berpikir pertama mengutamakan kata-kata sebagai kue manis menarik simpati.

Cara berpikir kedua, menggunakan fakta sebagai basis kekuatan untuk memenangkan kontestasi politik.

Ketiga, berupaya menggabungkan antara fakta dan kata-kata. Metode berpikir ini sering dipertontonkan melalu media elektronik atau dalam percakapan langsung antara politikus dan publik. Urgensinya tentu terletak kepada publik untuk memberikan keputusan politiknya.

Apakah setuju dengan politikus berbasis kata-kata atau sepakat kepada politikus berbasis fakta? Semua itu tergantung kepada fragmentasi pemilih yang notabenenya sangat variatif.

Begitu pula dengan argumentasi yang dibangun sangat bervariasi tergantung pada tokoh atau partai apa yang sedang didukung.

Demokrasi haruslah fakta dan data

Semenjak piagam Magna Charta, demokrasi tidak sekadar kata atau janji manis. Harus ada ikatan atau janji real antara penguasa dan yang dikuasai.

Atas dasar pikiran itulah, maka Magna Charta dibuat sebagai pegangan publik untuk mengontrol rajanya agar tidak bertindak sewenang-wenang.

Begitupun dengan pemilu kita, di mana masyarakat melakukan kontrak politik dengan pemimpinnya melalui media kertas dalam bilik suara.

Artinya secara fakta, masyarakat meneken “kontrak” dengan politisi yang dipilihnya. Seharusnya ada timbal balik adil diberikan kepada masyarakat melalui kebijakan-kebijakan.

Kebijakan tersebut seharusnya menguntungkan masyarakat, bukan menyamankan kepentingan politisi dan pengusaha.

Kejadian hari ini sepertinya lebih menguntungkan pengusaha dan rakyat hanyalah penonton setelah pemilu diselenggarakan.

Di satu sisi kata-kata perlu untuk menyampaikan gagasan dan ide. Secara instan memang kata-kata adalah media paling sederhana dan murah dalam memobilisasi opini publik.

Bagi politisi kemampuan berkata-kata menjadi keharusan. Politisi harus mampu menampilkan perbendeharaan kata-kata dengan berbagai gaya.

Selain itu justru dengan kata-kata yang kuat seorang politisi mampu menjawab berbagai pertanyaan dan kritik spontan ketika sedang dihadapinya. Namun apakah kualitas demokrasi kita sebatas cara politisi berkata-kata dengan gaya? Tentu tidak.

Eksistensi politisi harus sampai pada wadah bagi masyarakat untuk menuju kesejahteraan. Kesejahteraan itu harus sampai di teras rumah masyarakat dan diupayakan tidak dipajaki di tengah jalan.

Sehingga politisi memilki kepentingan utama, yaitu mensejahterakan masyarakat melalui hak konstitusinya sebagai eksekutif atau legislatif. Tidak hanya sekadar tampil bergaya dengan kata-kata.

Politik Indonesia juga tidak terlepas dari dinamika komunikasi politik. Baik itu antara parpol atau politisi dengan masyarakat.

Komunikasi politik serasa cukup penting dalam percaturan politik Nasional. Kita ingat bahwa ketika Megawati Soekarnoputri belum menyampaikan siapa calon presiden yang diusung PDI-P, publik di buat penasaran.

Atau ketika Nasdem mengusung Anis Baswedan dan jadi calon Presiden, publik juga dibuat kaget. Itu artinya bahwa konteks politik Nasional tidak terlepas dari komunikasi politik.

Komunikasi politik yang dibangun oleh elite politik dengan sendirinya perlahan-lahan akan membentuk opini publik. Opini ini akan menjadi basis cara berpikir publik untuk taat kepada parpol atau tokoh yang didukungnya.

Sehingga bermuara kepada fanatisme dan loyalitas tinggi kepada dukungannya. Pada saat itu, parpol mendapat nilai positif karena basis massanya semakin bertambah dan solid.

Kekuatan kata-kata dalam komunikasi politik terdapat beragam tafsiran. Tafsiran itu adalah tafsiran politik yang notabenenya bisa digunakan sebagai alat untuk memuluskan kepentingan.

Dalam pidatonya ketika Megawati menggunakan kata “mentang-mentang” kepada Jokowi, bisa saja kata itu mengandung tafsiran politik.

Apakah Megawati ingin menunjukan kuasa sebagai otoritas tertinggi partai atau simbol bahwa kader harus taat pada aturan partai.

Atau tafsiran politik lain dalam memaknai pidato Megawati dalam hari ulang tahun ke-50 PDIP. Pada akhirnya kita tahu bahwa kata adalah senjata.

Kata bisa digunakan untuk media komunikasi, tetapi di sisi lain dipergunakan untuk mengintervensi lawan. Ini hal lumrah yang sering terjadi dalam dunia politik.

Apapun yang dilakukan politisi dalam percaturan politik Nasional sebenarnya selalu seperti itu. Tetapi perlu dikritisi adalah ketepatan janji politik. Karena publik terikat dengan hal itu.

Apapun persoalan lobi dan komunikasi antara elite, publik hanya tahu bahwa jalan di kompleks jangan lubang, dapat bantuan, dan hal materi lainnya yang menurut mereka bermanfaat.

Kalau kata-kata hanya digunakan untuk mengutarakan janji manis, itu sangat berbahaya pada esensei demokrasi Nasional kita.

Akhirnya publik tidak peduli lagi dengan Pemilu karena janji hanya sebatas kampanye di mimbar besar dengan mengundang penyanyi dangdut untuk memeriahkan acara.

Kita harus melampaui fenomena politik seperti ini jika ingin demokrasi bertumbuh menjadi lebih beradap.

Demokrasi kita perlu didaur ulang untuk menciptakan suasana politik lebih anggun tidak sekadar janji manis. Kita sebagai publik jangan terjebak pada love bombing ketika politisi mencoba “merayu” menggunakan kata-kata manis. Sebab manis bisa saja diawal dan akhinya pahit diterima.

Demokrasi sebenarnya perlu memaparkan data dan kerja keras sehingga cita-cita UUD 1945 mensejahterakan masyarakat bisa dicapai.

Setiap politisi harus terikat dengan janjinya kepada publik dan bukan kepada pengusaha. Kata-kata perlu untuk digunakan sebagai alat komunikasi politik dan setiap politisi harus mampu bergaya dengan kata-kata.

Tetapi tidak menghilangkan esensi sebagai pejuang kepentingan rakyat. Justru dengan kata-kata, seorang politisi mampu menyampaikan derita rakyat dan segera dilakukan kebijakan agar rakyatnya dapat terselamatkan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.