Satu Tahun Perang, Ini Perusahaan yang Cuan Miliaran Dolar

upah.co.idJakarta, CNBC Indonesia – Konflik bersenjata antara Rusia dan Ukraina telah melambungkan harga minyak mentah dunia ke rekor baru setahun yang lalu. Berbagai perusahaan minyak pun bak “ketiban durian runtuh.”

Perusahaan minyak dan gas di luar Rusia mendapatkan keuntungan karena minyak asal Rusia yang mulai dijauhi akibat serangan ke Ukraina.

Berdasarkan laporan Grid dua perusahaan migas besar dari Amerika Serikat mampu meraup pendapatan besar. Perlu dicatat raihan tersebut saat pemerintah terus menekankan perlunya beralih dari bahan bakar fosil.

Exxon Mobil pada 2022 mampu meraup pendapatan sebesar US$56 miliar, mengalahkan rekor perolehan tahun sebelumnya yakni US$45,2 miliar. Sementara Chevron membukukan laba US$35,5 miliar.

Di sisi lain konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina membuat negara-negara timur tengah mendapatkan momentum untuk bangkit setelah keterpurukan saat Covid.

Misalnya saja perusahaan minyak yang dikendalikan negara Arab , Aramco, mampu mencetak laba sebesar US$42,4 miliar pada kuartal ketiga 2022.

Presiden AS Joe Biden pun melakukan kunjungan kontroversial ke Riyadh pada Juni silam dengan harapan meyakinkan Saudi untuk meningkatkan produksi minyak.Meskipun pada akhirnya tidak berhasil.

Uni Emirat Arab juga mendorong pelaksanaan rencana ambisius untuk meningkatkan kapasitas produksinya saat harga minyak tinggi.

Keuntungan penghentian ekspor pipa gas alam Rusia ke Eropa telah memungkinkan raksasa gas Qatar untuk meningkatkan dominasinya di pasar gas alam global.Qatar menandatangani perjanjian pasokan gas selama 15 tahun dengan Jerman pada November.

Bukan hanya produsen Timur Tengah yang diuntungkan. Norwegia, produsen minyak terkemuka Eropa, membukukan penjualan minyak dan gas sebesar US$114 miliar tahun lalu. Namun, hal itu memicu kontroversi di negara yang sadar iklim mengenai peningkatan penjualan migas oleh Norwegia, di mana oleh beberapa aktivis disebut sebagai “keuntungan perang”.

Keuntungan tidak hanya dirasakan oleh produsen saja, tapi juga negara-negara yang masih tetap memilih Rusia sebagai pemasok minyak mereka karena kebijakan Moskow mengenai harga jual yang lebih murah. Sebagai informasi minyak Rusia dijual pada US$20-US$30 per barel di bawah harga pasar.

Salah satunya adalah India yang membeli minyak Rusia 33 kali lebih banyak daripada tahun lalu karena bisa melakukan penghematan harian mencapai puluhan juta dolar dari harga yang lebih murah ketika membeli minyak dari Rusia.

Bahkan produsen turunan dari migas seperti pupuk juga mendapatkan keuntungan dari gejolak geopolitik terebut.

Financial Times baru-baru ini melaporkan bahwa Grup OCP Maroko, produsen pupuk fosfat terkemuka di dunia, mencatat rekor pendapatan tahun lalu. Ini karena penurunan ekspor gas Rusia menghancurkan produsen pupuk nitrogen, yang menggunakan gas sebagai bahan baku.

OCP membukukan US$3,65 miliar dalam sembilan bulan pertama 2022, naik dari US$1,99 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Saat konflik meletus, harga minyak mentah dunia melonjak ke level tertinggi sejak 2008.

Menurut data Refinitiv, pada Rabu (8/3/2022) harga minyak mentah Brent menyentuh penutupan US$127,98 per barel dan West Texas Intermediate (WTI) tercatat US$123,7 per barel. Bahkan meskipun saat ini harga minyak sudah jauh lebih rendah, tetap berada di atas harga sebelum perang berkecamuk.

Harga minyak Brent dan WTI tercatat US$83,16 per barel dan US$76,32 per barel pada perdagangan terakhir, Jumat (24/2/2023).

Harga melonjak karena kekhawatiran para pelaku pasar bahwa pasokan minyak dari Rusia akan terhambat. Padahal Rusia adalah salah satu produsen minyak terbesar di dunia.

Paling jadi sorotan adalah nasib Eropa jika pasokan minyak Rusia terhenti. Sebab Moskow adalah sumber minyak utama bagi negara-negara Benua Biru.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]