upah.co.id – sebelum bulan Ramadhan dimulai, kejutan kecil muncul di panggung politik kita. Duta Besar Amerika Serikat untuk RI Sung Yong Kim berkunjung ke markas Partai Keadilan Sejahtera ( PKS ), partai politik yang rajin bersuara keras terhadap Amerika Serikat.

Kunjungan pada 15 Februari lalu itu langsung melahirkan beragam spekulasi dan analisis. Apalagi, tak lama setelah kunjungan itu PKS akhirnya resmi mendeklarasikan capres pilihan mereka untuk Pemilu 2024 .

Sebagian kalangan menghubung-hubungkan dua peristiwa terpisah tersebut. Terlebih dengan adanya kesan menunda-nunda pendeklarasian dukungan sebelumnya, muncul aneka dugaan bahwa kedatangan Sung Yong Kim yang membuat mereka tak ragu lagi menyelenggarakan seremoni pendeklarasian.

Kepada publik, PKS menyebut kedatangan Dubes AS tersebut sekadar silaturahmi biasa. Achmas Syaikhu, Presiden PKS menjelaskan bahwa selain hubungan AS-Indonesia, kedua belah pihak juga berdiskusi mengenai demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Hal senada juga disampaikan Sung Yong Kim. Namun, mudahkah publik percaya pada penjelasan resmi semacam ini?

HAM adalah hal yang acapkali menjadi nilai tawar, sekaligus kartu yang terus dimainkan untuk menekan Indonesia di kancah internasional.

Bagi saya, rangkaian kunjungan yang terlaksana sekitar sebulan setelah pengakuan terbuka Presiden Jokowi atas 12 pelanggaran HAM berat RI, serta terbitnya esai “To Kill a Democracy: What a mysterious murder says about modern Indonesia” yang mengupas kematian Munir di majalah Foreign Affairs edisi Januari/Februari 2023 patut diberi perhatian.

Safari kunjungan perwakilan negara asing ke partai politik pendukung pemerintah maupun oposisi jelas hal yang biasa, ada tak ada Pemilu.

Jadi, kunjungan duta besar AS ke partai oposisi di negara lain sebelum pemilihan umum seharusnya dianggap biasa saja.

Namun kenyataannya tidak demikian. Pada 2020, misalnya, Duta Besar AS untuk Guyana Sarah-Ann Lynch, sampai harus mengeluarkan pernyataan pembelaan diri atas tuduhan campur tangan pemerintah AS jelang pemilu Guyana pada 2020.

Pemilu Guyana saat itu memang dipandang sebagai momen penting karena ditemukannya sumber minyak baru di negara itu dua tahun sebelumnya. Setelah penghitungan ulang, pemilihan tersebut dimenangkan oleh pihak oposisi.

Pada 2017, Duta Besar AS untuk Kenya Robert Godec, dibanjiri kritik karena dituduh berpihak kepada pimpinan oposisi Raila Odinga.

Demikian gaduhnya sampai-sampai ia harus mengeluarkan pernyataan “I’m not interested in Politics” pada Februari 2018.

Pada 2016, giliran Duta Besar AS untuk Filipina, Philip Goldberg, menuai kritik keras dari presiden Filipina saat itu Rodrigo Duterte.

Duterte memandang Goldberg sebagai tantangan terbuka terhadap otoritasnya, dan bahkan tak malu-malu menuduh pemerintah AS berencana untuk melemahkan pemerintahannya.

Pada 2019, Duta Besar AS di Ukraina juga memancing kegusaran pemerintah Ukraina karena pernyataannya yang bombastis, yaitu untuk memecat Jaksa Agung Yuriy Lutsenko, beberapa minggu sebelum pilpres Ukraina. Pilpres ini kemudian dimenangkan oleh Presiden Zelensky.

Di dalam negeri, tentu kita masih ingat bagaimana Dubes AS Robert O. Blake sengaja mengunjungi pemandian umum di Surakarta pada Mei 2014, ditemani oleh Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo.

Sebulan kemudian, Blake menegaskan pada Juni 2014 bahwa AS bersikap netral pada Pilpres Juli 2014.

Namun mendekati akhir Juni 2014, ia tiba-tiba mengeluarkan pernyataan yang meminta pemerintah RI mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM Prabowo Subianto, yang kontan direspons keras oleh Drajad Wibowo yang saat itu menjadi jubir Timses Prabowo-Hatta.

Lalu bagaimana kita bisa membaca kunjungan Sung Yong Kim, yang juga seorang diplomat karir Deplu AS ke markas PKS ini?

Apakah yang ingin disampaikan, atau kunjungan tersebut sekadar mengingatkan bahwa AS sedikit banyak punya peran dalam politik internal RI?

Posisi PKS sebagai partai yang sebelumnya hampir selalu berhadapan dengan kebijakan AS — terutama di Timur Tengah dan kebijakan yang berhubungan dengan umat Islam — jelas menjadikan kunjungan tersebut sebuah peristiwa politik penuh simbol dan makna.

Bagi saya, permintaan maaf Presiden Jokowi terhadap pelanggaran HAM pada 11 Januari lalu adalah pernyataan yang penuh nyali, ditujukan bagi dalam dan luar negeri.

Isyarat pada pihak asing untuk tidak coba-coba campur tangan dalam urusan dalam negeri Indonesia — menggunakan kartu hak asasi.

Dan juga kepada anak bangsa di dalam negeri, bahwa jelas tidak ada pemerintahan yang sempurna, dan permintaan dukungan terhadap upayanya menyelesaikan masalah yang diwariskan para pendahulunya.

Tapi sebelum Ramadhan yang tenang, Amerika Serikat seakan mengambil kesempatan di tikungan terakhir untuk memberikan pesan kepada pemerintahan Presiden Jokowi, yang selama ini konsisten mempertahankan independensi dan politik bebas-aktif.

Pemerintahan Jokowi bahkan terlihat cenderung lebih condong berbisnis dengan China. Nilai ekspor terbesar RI, berdasar laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, masih tetap diduduki oleh China dengan porsi 21,84 persen total ekspor, setara dengan 5,48 miliar dollar AS.

Amerika tentu saja tak ingin lebih jauh ‘kehilangan’ Indonesia. Bukan rahasia, perang pengaruh dan perang dagang AS-China sedang menapaki fase yang lebih intens.

Pembentukan IPEF (Indo Pacific Economy Framework) pada Mei 2022, jelas bertujuan mengimbangi kekuatan dan pengaruh China di wilayah Indo-Pasifik.

Campur tangan AS dalam politik Indonesia juga bukan rahasia lagi. Laporan The Atlantic, “What the United States Did in Indonesia” pada Oktober 2017, yang didasarkan pada dokumen-dokumen rahasia yang telah kedaluwarsa masa rahasianya, telah membongkar dengan jelas dalamnya keterlibatan AS dalam upaya kudeta 1965.

Publik juga percaya bahwa AS turut campur pada kejatuhan Orde Baru pada 1998. Maka bukan hal tak berdasar jika banyak kalangan di masyarakat, percaya pada setiap pemilihan presiden Indonesia, ada “saham” AS di situ, apapun warna partai presidennya. Kepentingan, jelas selalu ada.

Bagaimana dengan Pilpres kali ini, yang tak terasa sudah diambang pintu? Ini tentu menarik untuk diperdalam, dikaji dan ditunggu.

Namun penting untuk diingat: Pascasuksesnya KTT G-20 di Bali 2022 lalu, Indonesia telah membuktikan bahwa ia adalah seorang putri yang cantik, cerdas, juga tangguh, independen, dan tidak mudah lagi diintimidasi oleh agenda politik luar negeri negara manapun.

Mari bermain cantik dalam politik dan menjauhi mereka yang mengail di air keruh: saya percaya dan yakin sepenuhnya bahwa Presiden Jokowi dan penerusnya nanti adalah orang-orang yang mampu mempertahankan kedaulatan negara kita dari campur tangan asing.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Jenis mobil apakah yang menggunakan dua mesin penggerak dengan bensin dan motor listrik?

Dapatkan total hadiah Rp 5.000.000,- untuk 10 orang beruntung dengan mengikuti kuis otomotif berikut ini!

Berikut ini yang merupakan kelebihan dari kendaraan listrik, kecuali?

Apa nama bahan bakar dari pertamina ber-oktan 92?

Pada tahun berapakah Robert Anderson mengembangkan mobil roda tiga menggunakan baterai listrik?

Apakah kepanjangan EV yang biasa digunakan dalam mobil listrik?

E-mail

Isi data dirimu untuk keperluan pendataan dan pengiriman hadiah ya

No. Handphone

Nama Lengkap

Provinsi Domisili

Kota/Kabupaten Domisili

Tahun Lahir

Apakah Anda sudah terlindungi dengan Asuransi?

Jenis perlindungan apa yang Anda butuhkan?

Terima kasih atas partisipasinya!

Silahkan login dengan KG Media ID untuk melanjutkan survey