upah.co.id – Harga minyak mentah pada pekan ini terpantau cenderung beragam dan sudah cenderung membaik dari pekan sebelumnya.

Harga minyak kontrak jenis Brent naik 0,19% secara point-to-point (ptp) dibanding posisi penutupan pekan lalu ke US$ 83,16 per barel. Sedangkan untuk minyak kontrak jenis light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) turun tipis 0,03% ke US$ 76,32 per barel pekan ini.

Pada perdagangan Jumat (6/1/2023) pekan ini, harga minyak acuan dunia terpantau melesat, di mana harga Brent melesat 1,16%, sedangkan WTI melonjak 1,23%.

Harga minyak melonjak menjelang akhir pekan ini, di tengah ekspektasi pemotongan besar produksi Rusia bulan depan.

Rusia berencana memangkas ekspor minyak dari pelabuhan barat sebesar 25% pada Maret. Jumlah tersebut melebihi pengurangan produksi yang diumumkan sebesar 500.000 barel per hari.

Selain itu, pada Sabtu kemarin, Rusia telah menghentikan pasokan minyak ke Polandia melalui pipa Druzhba. Hal ini menyebabkan kilang Polandia akan memanfaatkan sumber lain untuk menutup celah tersebut.

Penghentian pasokan melalui pipa yang telah dibebaskan dari sanksi Uni Eropa yang dikenakan pada Rusia setelah perang terjadi sehari setelah Polandia mengirimkan tank Leopard pertamanya ke Ukraina.

“Rusia telah menghentikan pasokan ke Polandia, yang kami siapkan. Hanya 10% minyak mentah yang berasal dari Rusia dan kami akan menggantinya dengan minyak dari sumber lain,” tulis Kepala Eksekutif PKN Orlen Daniel Obajtek di Twitter.

Meski harga minyak mentah dunia berhasil rebound dua hari perdagangan terakhir di pekan ini, tetapi trennya masih cenderung lesu.

Hal ini karena masih kuatnya dolar Amerika Serikat (AS) yang tetap menjadi hambatan jangka pendek untuk minyak mentah.

Kuatnya dolar AS tentunya berkaitan dengan risalah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pada Kamis dini hari waktu Indonesia.

Sebagai catatan, risalah tersebut menunjukkan mayoritas pejabat The Fed setuju bahwa risiko inflasi tinggi menjamin kenaikan suku bunga lebih lanjut.

The Greenback, sebutan lain dari dolar AS yang lebih kuat membuat minyak berdenominasi dolar lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya.

Selain karena dolar AS, harga minyak juga masih berada di bawah tekanan setelah data pemerintah AS menunjukkan persediaan minyak mentah negara itu naik untuk kesembilan kalinya berturut-turut pekan lalu, memicu kekhawatiran permintaan.

Stok minyak mentah AS naik 7,6 juta barel dalam seminggu hingga 17 Februari, Administrasi Informasi Energi AS mengatakan, lebih dari tiga kali lipat ekspektasi analis untuk kenaikan 2,1 juta barel.

“Sehubungan dengan tekanan yang datang dari Federal Reserve pada permintaan dan cuaca yang menghangat di AS dan Eropa, ada kekhawatiran menyeluruh tentang sisi permintaan,” kata Tony Headrick, analis pasar energi di CHS Hedging.

CNBC INDONESIA RESEARCH